DEMOKRATISASI DAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA
Revitalisasi Peran Desa Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
Disusun Oleh:
Dwi Satriani
Begi Mawindi ( NIM. C 100 110
095)
Husein (NIM.
C 100 120 174)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Karya Tulis :
DEMOKRATISASI DAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA
Revitalisasi Peran Desa Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ketua Kelompok
a. Nama Lengkap : DWI SATRIANI BEGI
MAWINDI
b. NIM : C 100 110 095
c. Jurusan : HUKUM
d. Perguruan Tinggi : UNIV. MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Anggota Kelompok
a. Nama Lengkap : HUSEIN
b. NIM : C 100 120 174
c. Jurusan : HUKUM
d. Perguruan Tinggi : UNIV. MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Dosen Pembimbing
- Nama Lengkap dan Gelar : KUSWARDANI, S.H., M.Hum
- NIK/NIDN : 471/0618026302
- Pekerjaan : TENAGA PENGAJAR
- Unit Kerja : FAKULTAS HUKUM, UMS
Surakarta, 3 April 2014
Menyetujui,
Dosen Pembimbing / Wakil Dekan 3 Kemahasiswaan
Kuswardani, S.H., M.Hum.
NIK/NIDP : 471/ 0618026302 |
Ketua Kelompok,
Dwi Satriani Begi Mawindi
C 100 110 095
|
DEMOKRATISASI DAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA
Revitalisasi
Peran Desa Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
Oleh
Dwi
Satriani Begi Mawindi dan Husein
A. Latar
Belakang
Desa merupakan pemerintahan paling bawah dan basis
penyelenggaraan pemerintahan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sehingga keberadaan desa ini tidak bisa diabaikan
perlu adanya sebuah pengakuan, penataan oleh pemerintah yang berada diatasnya
(daerah dan pusat) disatu sisi. Namun disisi lain perlu diberikan kebebasan
dalam mengatur sistem pemerintahannya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat/rakyat desa setempat.
Pengakuan terhadap desa sebagai
pemerintahan paling bawah secara historis dapat diketahui dari berlakunya
peraturan hukum. Pada masa kolonial,
pengakuan desa sebagai wilayah yang bisa mengatur rumah tangganya sendiri
sesuai dengan hukum adat yang berlaku di wilayahnya, yang pada saat itu diatur
dalam dualisme hukum yaitu Inlandsegemeneente
ordonantie (IGO untuk Pulau
Jawa, sedangkan di luar Pulau Jawa diatur dengan Inlandsegemente Ordantie voor Buiten
Gewesten (IGOB). Kedua peraturan
masa kolonial ini memberikan keleluasan kepada desa untuk mengatur rumah
tangganya sendiri sesuai dengan hukum yang berlaku (hukum adat) dalam arti
Pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan mereka, karena desa telah ada jauh sebelum Belanda
datang ke Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia yang
bertepatan pada 17 Agustus 1945 dimana sehari kemudian disahkannya UUD 1945,
desa secara yuridis konstitusional diakui meskipun secara tersirat dalam Pasal
18 yang dapat diinterpretasikan dari kalimat “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil[1]
dengan bentuk pemerintahannya
…… “. Realisasi dari Pasal 18 UUD Tahun 1945
ini ialah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan
Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintah Sendiri di Daerah-daerah Yang Berhak Mengatur
Rumah Tangganya Sendiri. Undang-undang ini memberikan hak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri kepada daerah-daerah
termasuk desa.[2])
Namun dalam substansi berikutnya tidak memberikan ruang pengaturan kepada desa tentang
hak mengatur rumah tangganya sendiri kecuali hanya disebutkan dalam satu pasal
tersebut yaitu Pasal 1 ayat (2).
Tahun 1965, masalah desa ini
mendapat perhatian kembali dengan disahkannya Undang-undang No. 19 Tahun 1965
tentang Desa Praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya
daerah tingkat III diseluruh wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-undang
ini Desa Praja pengertiannya sama dengan pengertian desa pada Undang-undang
sebelumnya, perbedaannya desa menjadi
daerah tingkat III dan diberikan otonomi sama dengan daerah tingkat I
dan daerah tingkat II. Undang-undang ini lahir didasari dengan adanya
kepentingan revolusi dan disertai tidak berlakunya UUD Sementara 1950 karena
adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Menurut Undang-undang Desa Praja ini kepala desa memiliki kekuasaan yang
luas, namun apabila dikaji ada kelemahan-kelemahan seperti bahwa keputusan
kepala Desa Praja tidak serta merta setelah diputuskan berlaku perlu adanya
pengesahan terlebih dahulu dengan waktu yang relatif lama karena batas waktu
tiga bulan dapat diperpanjang 3 bulan lagi[3],
sehingga ini bisa jadi mengganggu roda pemerintahan. Namun Undang-undang ini
belum sempat diberlakukan karena adanya pemberontakan G 30 S/PKI. Undang-undang
Pemerintahan Desa baru ada lagi pada tahun 1979 dengan Undang-undang No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, sehingga dapat dikatakan bahwa selama 10
tahun desa tidak memiliki landasan hukum dalam menjalankan roda pemerintahan,
namun dalam hal ini bukannya pemerintahan desa selama 10 tahun tanpa dasar
namun, mereka menggunakan hukum yang hidup yang berlaku dimasing-masing desa.
Pemerintahan desa pada saat
berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan didaerah dimana terpisah
tidak ada hubungan koordinasi kecuali dengan Camat dalam hal pertanggungjawaban
padahal secara kenyataan Desa merupakan basis pemerintahan NKRI. Selain itu Undang-undang
pemerintahan Desa ini menghendaki adanya keseragaman dalam pemerintahan desa
yang hal ini sangat sulit untuk diwujudkan karena masing-masing Desa memiliki
asal-usul yang berbeda dan hukum adat yang berbeda pula. Hal ini merupakan
inkonsistensi pemerintah dalam melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 yang pasal
tersebut dalam hal pembentukan daerah besar dan kecil (yaitu Desa)
memperhatikan tentang asal-usul daerah dan atas dasar permusyawaratan[4])
Amandemen UUD 1945 (selanjutnya
disebut UUD NKRI Tahun 1945) membawa keuntungan dalam kehidupan Desa khususnya
dalam hal pemerintahan Desa karena ada perluasan terhadap Pasal 18 UUD Tahun
1945 dan penambahan pasal 18 A dan pasal 18 B. Perubahannya antara lain; (1)
Asas
pemerintahan di daerah dengan asas otonomi dan pembagian tugas; (2) Otonomi seluas-luasnya kecuali untuk
urusan tertentu; (3) Pemilihan
gubernur dan bupati secara demokratis; (3) Pengakuan keragaman
nilai-nilai
kearifan lokal
dalam hubungan vertikal
(pusat dan daerah); (4) Pengakuan secara khusus
terhadap daerah-daerah
yang bersifat istimewa dengan undang-undang; (5) Pengakuan dan
penghormatan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonal selama tidak
bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Poin terakhir (nomor 5) ini menurut penulis adanya
pengakuan secara tersurat terhadap desa di NKRI yang memilki keunikan karena
sifatnya yang plural.
Tindak lanjut pemerintah untuk
mewujudkan desa yang merupakan kesatuan masyarakat hukum dengan coraknya
masing-masing dan bisa mengatur rumah tangganya sendiri ini ditetapkanlah Undang-undang
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang sebenarnya telah diawali dengan disahkannya
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sebelum Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
disahkan, sebagai landasan hukum
pemerintahan desa adalah PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, PP ini didasarkan pada Undang-undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Namun sebagai konsekuensi dari Pasal 18 B
maka perlu adanya Undang-undang organik sebagai pelaksana dari pasal tersebut.
Undang-undang Desa yang baru beberapa bulan ini memberikan angin segar terhadap
desa karena desa akan lebih dinamis mengatur rumah tangganya sendiri dan
demokratis. Hal ini sebagaimana yang diharapkan oleh UUD NKRI Tahun 1945 khususnya Pasal 18 B ayat (2)
bahwa negara menghendaki secara konstitusional hak-hak tradisional dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tetap hidup dan berkembang dalam rangka
memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat ini harus bisa mewujudkan kehidupan demokrasi
di wilayah desa tersebut, hal ini bisa diwujudkan apabila nilai-nilai
tradisonal itu tidak bertentangan dengan
nilai-nilai filosofis bangsa yaitu Pancasila.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada subbab latar belakang diatas
maka permasalahan dalam makalah ini Bagaimanakah revitalisasi peran desa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-undang No.
6 Tahun 2004 tentang Desa sebagai perwujudan demokrasi desa ?
C.
Tujuan Penulisan
Mendeskripsikan dan menganalisis peran desa dalam
pemerintahan berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan cara
membandingkan peran Desa di peraturan sebelumnya dalam rangka mewujudkan
demokrasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
D.
Manfaat Penulisan
1.
Karya tulis
ilmiah ini secara teoritis diharapkan
dapat membuka wawasan berpikir berkaitan dengan sistem demokrasi bagi
masyarakat pedesaan sesuai dengan Undang-undang Desa.
2.
Karya tulis ilmiah
ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada kepala desa
dalam mengambil langkah-langkah praktis mewujudkan demokrasi di wilayah Desa
yang dipimpinnya.
E.
Metode Penulisan
Makalah
ini merupakan sebuah karya tulis ilmiah dari hasil penelitian kajian pustaka,[5])
sehingga sumber data dari penulisan ini adalah dokumen peraturan perundang-undangan
atau dokumen hukum, literatur dan jurnal ilmiah
juga apabila diperlukan kamus hukum. Oleh karena salah satu sumber data
adalah dokumen hukum dalam bentuk peraturan perundangan, maka dapatlah
dikatakan bahwa kajian ini sebagai penelitian hukum normatif.[6])
Langkah-langkah yang dilakukan pertama,
mengindentifikasi dokumen hukum, literatur, dan jurnal ilmiah yang relevan
dengan topik yang dibahas. Kedua, mencermati
konten dari sumber data hasil indentifikasi dan mencatatnya, dan yang terakhir
adalah mengorganisir data yang tersedia untuk dipaparkan dalam sebuah karya
tulis. Hasil pengorganisasian data dianalisis dengan teori demokrasi
sebagaimana dipaparkan dalam subbab landasan teori.
F.
Landasan Teori
Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat bahwa “……….Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat……..” Selanjutnya dalam batang
tubuhnya disebutkan pula bahwa “ Bentuk
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang
berkedaulatan ditangan rakyat”, demikianlah kurang lebihnya substansi dari
Pasal 1 UUD NKRI Tahun 1945 . Berdasarkan hal itu maka sistem pemerintahan di
Indonesia adalah demokrasi.
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani dari kata demos
berarti rakyat dan kratos/cratein
artinya pemerintahan, maka demokrasi secara etimologis dapat diartikan dengan
pemerintahan rakyat. Masyarakat awam mengenalnya dengan pengertian pemerintahan
dari, oleh dan untuk rakyat. Pemerintahan yang demokratis ini telah dikenalkan
oleh para filosof Yunani yaitu Plato dan Aristoteles, meskipun belum
menggunakan istilah demokrasi. Pandangan Aristoteles tentang demokrasi ini
dengan berpijak pada pandangan tentang manusia
bahwa manusia adalah makhluk politis, sehingga sebagai manusia selalu
berkeinginan untuk membentuk sebuah masyarakat/komunitas yang didalamnya
memiliki struktur yang dipisahkan yaitu pemerintah dan yang diperintah. Oleh
karena itu Aristoteles membagi hubungan antara yang diperintah dengan yang
memerintah dalam dua model yaitu model
hubungan tuan-budak dan model rumah
tangga.[7] Model
pertama ini menurut Aristoteles bahwa budak selalu membela kepentingan tuan
namun tuan juga harus berpihak pada budak sebab selama tuan tidak berpijak pada
budak maka kepentingan tuan akan hancur. Model kedua, ini diibarat negara
sebagai rumah tangga yang didalamnya terjalin hubungan orang tua dengan anak. Orang tua memimpin rumah tangga
untuk kebaikan anak-anaknya dan bukan untuk kebaikan orang tuanya semata, namun orang tua juga harus memperhatikan kepentingan
anak-anaknya, maka secara tidak langsung kepentingan mereka pun terpenuhi dan
semua pihak akhirnya mendapatkan kepuasan. Jika model ini diterapkan dilevel
politik, yakni pada masyarakat luas maka tercipta tata politik
demokratis. Didalam politik demokratis, menurut Aristoteles, negara bergerak didalam
kerangka prinsip kesetaraan antara manusia. Penguasa pun tidak lagi digilir
berdasarkan darah ataupun kekuatan militer, melainkan dipilih bergantian diantara
orang-orang terbaik yang ada di dalam masyarakat tersebut. Para penguasa
dipilih karena mereka dianggap bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat
dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas.[8]
Pemikiran Aristotels ini melahirkan demokrasi langsung, bahwa pemimpin itu
dipilih secara langsung oleh rakyat Pemikiran Aristoteles ini berkembang dimasyarakat
sehingga lahirlah apa yang disebut dengan demokrasi tak langsung atau demokrasi
perwakilan.
Demokrasi
untuk dapat diwujudkan dalam suatu pemerintahan diperlukan dua syarat menurut
Suhartono[9])
yaitu pertama, syarat internal-maksudnya
bahwa demokrasi itu hanya bisa tercipta dengan wajar dan benar bila rakyat
berada dalam kesadaran berpolitik yang mandiri tidak dibawah pengaruh dominasi
tertentu dan mempunyai kemampuan untuk mengaktualisasi aspirasinya. Kedua, syarat eksternal yaitu adanya
kondisi yang mendukung posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam hal ini
meliputi dua hal; (1) Kondisi yang memberikan jaminan penuh pada rakyat,
sehingga rakyat merasa aman, karena itu dalam hal ini diperlukan adanya
pengakuan atas hak-hak dasar rakyat; (2) Adanya sarana berupa badan-badan
formal yang dapat menjadi saluran aspirasi rakyat. Badan yang dimaksud harus
independen dan benar-benar berdiri diatas prinsip kedaulatan rakyat.
Pandangan
lain tentang demokrasi dikemukakan oleh Mahfud M.D. dengan berpijak pada
pandangan Amien Rais disebutkan bahwa pemerintahan yang demokrasi harus
berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut;[10] (1) Rakyat harus berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan; (2) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di dalam
hukum; (3) Pendapatan rakyat arus didistribusikan secara adil bagi seluruh
warga negara; (4) Semua rakyat harus diberi kesempatan yang sama dalam
memperoleh pendidikan; (5) Harus ada kebebasan untuk mengemukakan pendapat termasuk
kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan beragama; (6) Rakyat berhak mendapat
informasi seluas-luasnya; (7) Mengindahkan fatsoen
atau tata krama politik; (8) Harus ada kebebasan individu; (9) Semangat
kerjasama; (10) Hak untuk protes. Pandangan demokrasi yang demikian ini adalah
pandangan yang bersifat umum, namun untuk masyarakat desa selain hal tersebut
diatas perlu juga ditambahkan prinsip-prinsip yang berakar pada nilai-nilai
masyarakat hukum adat yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Prinsip
demikian ini menurut Surhartono[11]
dengan berdasar pada pandangan Mohammad Hatta adalah (1) Prinsip rapat
maksudnya segala sesuatu yang menjadi permasalahan desa diputuskan dengan musyawarah dan bermufakat;
dan (2) Prinsip tolong-menolong. Hal
ini perlu ada karena demokrasi dalam masyarakat desa nantinya hanya sebagai
aksesoris tetapi yang muncul adalah paksaan-paksaan karena kondisi masyarakat
desa yang penduduknya relatif rendah pendidikannya dan pemimpin desa adalah
panutan masyarakatnya.
G.
Pembahasan
Desa di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 73.000 desa dalam menjalankan roda
pemerintahnnya tunduk pada Undang-undang No.6 tahun 2014 tentang Desa, yang
sebelumnya pengaturan tentang Desa ada pada PP
No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. PP ini dikeluarkan atas dasar Undang-undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Desa bahwa dibentuk
atas dasarnya konstitusi (UUD NKRI Tahun 1945). Oleh karena itu pengertian desa pada Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa serta PP No. 72 Tahun 2005
Desa, konsep tentang desa sama yaitu :
“Desa adalah desa dan desa adat atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “
Konsep
merupakan poin yang menentukan muatan substansi akan diarahkan, dengan konsep
yang sama berarti pembentuk undang-undang (legislatif) dan pemerintah memiliki pemahaman
yang sama sehingga dalam memformulasikan peraturan tidak saling simpang siur
sehingga tidak ada selaras.
Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memang bukan merupakan landasan
hukum terbentuknya Undang-undang Desa, [12])
namun Undang-undang ini memberikan ide bahwa perlu perhatian kepada desa,
sehingga dalam Undang-undang ini diatur masalah substansi desa dalam
rangka untuk menjamin pelaksanaan
otonomi dan demokrasi di desa. Hal demikian ini dapat diketahui dari Penjelasan
Umumnya yang disebutkan sebagai berikut;
(1) Pengakuan terhadap otonomi yang dimiliki desa ataupun sebutan
lainnya dan pemberian penugasan atau pendelegasian kepada desa melalui
pemerintah desa dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintahan tertentu; (2) Adanya upaya mewujudkan demokrasi di desa
dengan dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang berkembang di
desa yang bersangkutan yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dan penyelenggaraan
pemerintahan desa; (3) Memberikan peluang kepada desa untuk membentuk lembaga
kemasyarakatan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan
masyarakat masyarakat desa. Meskipun dalam perjalanan waktu Undang-undang ini
mengalami perubahan dengan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang (Perppu)
No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah kemudian ditetapkan dengan Undang-undang No. 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-undang.
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang, namun substansi tentang desa baik dalam
pasal-pasalnya maupun penjelasan umumnya tidak mengalami perubahan. Bentuk
perhatian pemerintah dalam rangka mewujudkan UUD NKRI Tahun 1945 khususnya pasal 18 B ini
dibentuklah Undang-undang Desa yang sebelumnya telah diatur dengan PP No. 72
Tahun 2005 tentang Desa.
Lahirnya PP Desa secara yuridis didasari oleh Pasal 5 ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945 dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Desa sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2005
sebagai Penetapan Perppu No. 3 Tahun
2005 Tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu PP Desa ini didasarkan pada prinsip[13];
(1) Pengakuan keanekaragaman Desa berdasarkan asal-usul dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat; (2) Partisipasi maksudnya bahwa pembangunan Desa
harus dapat menggerakan masyarakat Desa untuk berperan aktif; (3) Otonomi asli
artinya bahwa pemerintah Desa dalam mengatur dan mengurus masyarakatnya
didasarkan pada nilai sosial-budaya masyarakat setempat dengan menggunakan perspektif sistem
administrasi negara; (4) Demokrasi maksudnya bahwa penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang
disampaikan melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga
Kemasyarakatarn sebagai mitra pemerintah desa dalam menjalankan kewenangannya.
Prinsip demokrasi yang lain ini ditunjukkan
dalam hal pemilihan Kepala desa yang dilakukan secara langsung dan serentak
diseluruh wilayah Kabupaten; (5) Pemberdayaan masyarakat bermaksud bahwa
pemerintah Desa dalam melaksanakan roda pemerintahan dan pembangunan selalu
diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Oleh karena itu pembangunan
desa perlu disusun kebijakan pembangunan desa dengan memperhatikan sumber daya
baik alam, manusia maupun nilai-nilai yang hidup dimasyarakat yang bersangkutan;
(6) Desa memiliki kewenangan untuk mengelola sumber pendapatannya sendiri untuk
mengurus rumah tangganya. Sumber pendapat ini berasal dari pembagian pajak
daerah dan retribusi minimal 10 %, bantuan dari pemerintah provinsi yang
diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan provinsi, hasil pendapatan dari
Badan Usaha Milik Desa seperti Badan Usaha Kredit Desa.
Uraian
tentang PP Desa diatas sebenarnya telah menunjukkan kehendak dari UUD NKRI
Tahun 1945 khususnya Pasal 18 B ayat (2), namun ada inkosistensi dalam
implementasinya karena Konstitusi memberikan amanah kepada pembentuk undang-undang
untuk meregulasi pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisional untuk menjalankan fungsi pemerintahan ke dalam
sebuah undang-undang. Pada tataran
empiris yang ada PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, hal ini bertentangan dengan
amanah Konstitusi, apabila alasan kondisi sangat mendesak untuk segera
melaksanakan, pemerintah dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perppu) yang kedudukan Perppu adalah sederajat dengan Undang-undang[14])
Sehubungan
dengan adanya inkonsistensi dalam pelaksanaan Pasal 18 B UUD NKRI Tahun 1945,
maka negara (legislatif) mengesahkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Tujuan disahkannya Undang-undang Desa selain untuk konsistensi negara
dalam pelaksanaan konstitusi disamping itu untuk lebih meningkatkan
demokratisasi dalam kehidupan masyarakat desa dalam mengurus urusan rumah
tangganya sendiri, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa setempat baik secara baik secara
materiil maupun non materiil
Sifat
demokratis dari Undang-undang Desa ini antara lain pertama,
pengakuan terhadap Desa/Desa adat yang dibentuk berdasarkan faktor
genealogisnya dan teritorial. Faktor genealogis sebagai faktor terbentuknya
masyarakat desa masih hidup disebagian besar daerah di Indonesia, seperti Desa
adat/masyarakat adat yang ditentukan dari garis laki-laki seperti Batak, Bali
dan Ambon. Ataupun desa adat yang ditentukan dari garis perempuan atau garis
keturunan dari laki dan perempuan. Dengan adanya pengakuan desa adat ini justru
lebih memperkokoh Kesatuan Negara Republik Indonesia, karena masyarakat dalam
menjalankan kehidupan sebagai warga negara, bangsa Indonesia dan anggota
masyarakat berpedoman kepada hukum desa setempat yang telah terinternalisasi
dalam kehidupannya, sehingga akan lebih mendinamiskan kehidupan masyarakat
menuju desa yang sejahtera. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ateng
Syafrudin bahwa pengaturan masyarakat desa dengan hukum modern adalah keliru
karena masyarakat Desa memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan
masyarakat perkotaan, Desa berkarakter tradisonal yang menganggap kepala desa/pemuka
masyarakat desa sebagai primus interpares.[15]
Selain itu dalam Undang-undang Desa yang baru ini dalam setiap klausula dalam
pasal atau penjelasan selalu adanya klausula alternatif. Sebagai contoh Pasal 1
yang merupakan kerangka konseptual dari berbagai istilah dalam substansi
Undang-undang Desa seperti angka 1
tentang pengertian Desa, angka 3 tentang pengertian pemerintah desa, angka 4
pengertian Badan Permusyawaratan Desa, angka 5 tentang pengertian musyawarah. Selain
itu Pasal 25 disebutkan “Pemerintah Desa
sebagaimana………………………… adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain ………”.
Kedua, Undang-undang Desa mengakomodasi
nilai-nilai universal bangsa Indonesia yang telah mengakar dalam kehidupan
masyarakat yaitu nilai-nilai kehidupan yang harmonis, hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Raqib bahwa filosofis masyarakat Indonesia dalam membangun
kehidupan bersama berdasar pada prinsip harmonis yang dimasyarakat Jawa sering
disebut dengan tepa selira[16]).
Nilai Harmonis ini juga dituangkan dalam substansi Undang-undang Desa dalam
Pasal 3 dan Penjelasan Umum dari Undang-undang ini yaitu pengaturan,
subsidaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan,
musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan
keberlanjutan. Perwujudan asas itu dalam rangka menuju masyarakat yang
demokratis dan berkualitas serta sejahtera, maka pemerintahan desa dilengkapi
dengan struktur organisasi dan tata kerja, yang diusulkan oleh Kepala Desa
bukan ditetapkan oleh undang-undang. Undang-undang Desa yang baru ini hanya
menyebut bahwa Kepala desa dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat desa
yang terdiri dari sekretaris desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis.
Hal ini berbeda dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
yang dalam substansinya langsung menetapkan bahwa organisasi pemerintahan Desa
adalah Kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan kepala desa dibantu
dengan perangkat desa yang terdiri dari sekretaris desa dan kepala dusun. Dan
susunan organisasi tata kerja Pemerintah desa dan Perangkat desa ditetapkan
oleh peraturan daerah dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri[17])
Hal ini menunjukkan bahwa struktur organisasi dan tata kerja tidak berbasis
pada asal-usul desa tetapi berdasarkan pada aturan yang ditetapkan yang berlaku
untuk seluruh wilayah desa di Indonesia. Disamping itu tidak memberikan
kebebasan kepada desa untuk memberikan nama stuktur organisasi pemerintahan
desa sesuai dengan adat yang berlaku.
Ketiga, adanya forum musyawarah desa yang berfungsi untuk
membahas permasalahan krusial desa atau permasalahan strategis desa guna
meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa. Permasalahan strategis atau
krusial desa seperti penataan desa,
rencana investasi yang masuk ke desa, pembentukan Badan Usaha Milik
Desa, kejadian luar biasa atau penambahan dan pelepasan aset desa.[18])
Selain forum musyawarah ditingkat desa ada Badan Permusyawaratan Desa, badan
ini yang memiliki fungsi legislatif
bersama kepala desa dan fungsi pengawasan
terhadap kinerja Kepala desa. Dengan adanya fungsi legislatif Badan
Permusyawaratan Desa bersama Kepala desa
berarti Desa dapat memiliki produk hukum yaitu peraturan desa yang bersubstansi
tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa, namun sebagai
peraturan pada tingkat bawah harus tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Meskipun di Desa masih ada peraturan lain seperti Peraturan Kepala Desa, Peraturan Bersama
Kepala Desa maksudnya peraturan yang dibuat dan ditetapkan oleh dua desa atau
lebih, namun secara hierarkis peraturan bahwa Peraturan Desa berkedudukan
paling tinggi desa sehingga peraturan yang lain seperti peraturan kepala desa
harus tidak bertentanga dengan Peraturan Desa, mengingat peraturan desa sebagai
cerminan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh Badan Permusyawaratan Desa.
Keempat, keberadaan mitra kerja pemerintah desa yaitu Lembaga
Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat. Lembaga Kemasayarakatan Desa sebagai mitra kerja pemerintah desa bertugas;
(1) Melakukan pemberdayaan masyarakat desa; (2) Ikut serta merencanakan dan melaksanakan
pembangunan; dan (3) Meningkatkan pelayanan masyarakat desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa ini adalah rukun
tetangga, rukun warga, pembinaan
kesejahteraan keluarga atau karang taruna. Sedangkan Lembaga Adat Desa
merupakan pula mitra pemerintah desa dalam hal memberdayakan, mengembangkan,
melestarikan adat istiadat sebagai bentuk pengakuan terhadap adat istiadat
masyarakat desa. Pemberdayaan, pengembangan dan pelestarian adat istiadat dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa baik secara ekonomis maupun non
ekonomis
Terakhir, kejelasan tentang pendapatan desa yang tidak hanya
bersumber pada hasil usaha desa seperti hasil pertanian tanah kas desa
merupakan pendapatan asli desa atau hasil usaha gotong royong atau swadaya
desa. Namun pendapatan desa diperluas meliputi pula alokasi Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara (APBN), bagi hasil pajak atau retribusi daerah, serta alokasi
dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh
kabupaten/kota. Selain adanya akses bagi desa untuk memiliki Badan Usaha Milik
Desa yang sepenuhnya dikelola desa untuk kesejahteraan masyarakat desa
setempat. Dengan bertambahnya sumber pendapatan desa ini memberikan peluang
kepada desa untuk melakukan pembangunan yang bisa meningkatkan kesejahteraan
dalam semua aspek kehidupan .
Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan diatas desa memiliki peran
yang lebih luas menurut Undang-undang Desa yang baru dibandingkan dengan Undang-undang
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan pemeritah No. 72 Tahun
2005 tentang Desa yang bersifat
inkonstitusional. Meskipun dalam Peraturan pemerintah tersebut telah diatur
adanya pengakuan terhadap desa adat, dan
adanya Badan Permusyawaratan Desa dan
sebagainya. Namun demikian demokratisasi dalam Peraturan pemerintah tersebut
masih dikatakan belum sempurna, karena antara lain belum adanya forum
musyawarah desa dan lembaga desa adat. Undang-undang
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa apabila dilihat dari unsur demokrasi sebagaimana
dipaparkan pada subbab landasan teori makalah ini maka dapat dikatakan unsur-unsur
tersebut terpenuhi, meskipun seperti unsur hak untuk protes, tidak diatur
secara tersurat dengan istilah yang sama sebagaimana karakteristik demokratis
yang diungkapkan oleh Mahfud MD yang berpijak pada Amin Rais. Namun dengan
keberadaan forum musyawarah ini sudah cukup menandai adanya keterbukaan dalam
menyampaikan pendapat, bertanya untuk memperoleh informasi.
H.
Kesimpulan
Undang-undang
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memenuhi unsur-unsur demokrasi sehingga Undang-undang
Desa ini menunjukkan adanya revitalisasi peran desa dalam menjalankan
pemerintahan dan pembangunan desa. Unsur-unsur demokratis yang menunjukkan
revitalisasi peran desa ditunjukkan dengan keberadaan hal-hal yang baru dalam Undang-undang
Desa antara lain; (1) Keberadaan forum musyawarah; (2) Badan Permusyawaratan
Desa; (3) Mitra kerja pemerintrah desa yaitu Lembaga Kemasyarakatan Desa dan
Lembaga Adat; (4) Pendistribusian anggaran
dari pusat dan daerah ke Desa melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Selain
itu revitalisasi peran desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
rangka mewujudkan demokrasi Desa adanya
kewenangan Desa dalam membuat peraturan Desa dan melakukan kerjasama dengan
desa lain atau kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka untuk kepentingan Desa
yaitu pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
I.
Rekomendasi
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dari aspek substansi dapat dikatakan aspiratif,
namun dalam tataran pelaksanaan aspek struktur khususnya pemerintah desa dan
masyarakat desa setempat serta pada
umumnya pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, kabupaten/kota perlu
kesungguhan dalam melaksanakannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Marzuki,
Peter Mahmud, 2013, PenelitianHukum
(edisirevisi), Jakarta :KencanaPrenada Media Group.
Mahmuzar, 2014, SistemPemerintahan
Indonesia menurut UUD 1945 SebelumdanSesudahAmademen, Bandung: Nusa Media.
Neuman,
W. Lawrence, 2013, Metode Penelitian
Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitaf ,Penerjemah
Edina. T. Sofia, Jakarta : PT. Indeks.
Raqib, Muhammad, 2007, Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi
dan Keadilan Gender), Yagyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafrudin, Ateng dan Suprin Na’a, 2010, Republik Desa : Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam
Desain Otonomi Desa, Bandung: Alumni
Suhartono, 2001, Politik Lokal (Parlemen Desa : Awal Kemerdekaan sampai
Jaman Otonomi Daerah), Yogyakarta :
Lapera Pustaka Utama,
PeraturanHukum
Undang –
UndangDasar 1945
Undang –
UndangDasar Negara KesatuanRepublik Indonesia Tahun 1945
Undang –
Undang No. 22 Tahun 1948 tentangPenetapanAturan –
aturanPokokMengenaiPemerintahSendiri Di Daerah – daerah Yang
BerhakMengaturRumahTangganyaSendiri
Undang –
Undang No. 5 Tahun 1979 TentangPemerintahanDesa
Undang –
UndangNo. 32 Tahun 2004 TentangPemerintahan Daerah
Undang – Undang
No. 12 Tahun 2011 TentangPembentukanPeraturanPerundang – undangan
Undang – Undang
No. 6 Tahun 2014 TentangDesa
PeraturanPemerintah
No. 72 Tahun 2005 TentangDesa
Internet
Reza A.A Wattimena, DemokrasiMenurutAristoteles
(Bagian 1), dalamhttp://rumahfilsafat.com/2012/08/15/demokrasi-menurut-aristoteles-bagian-1/ , aksesJumat 14 Maret 2014.
[1])Garis
bawah dari penulis untuk menunjukkan penulis bahwa daerah besar adalah daerah
tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II (kabupaten / kota). Daerah kecil adalah desa
[2]) Pasal 1
ayat (2) UU. No 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan – aturan
Pokok Mengenai Pemerintah Sendiri Di Daerah – daerah Yang Berhak Mengatur Rumah
Tangganya Sendiri, sebagai berikut “Daerah-daerah
yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia
mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undangundang
pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa
yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri”
[4])Pasal 18 UUD 1945 bahwa“Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk pemerintahannya ditetapkan
dengan undang – undang, dengan memandang dan menginat dasar permusayawaratan
dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal – usul dalam daerah – daerah
yang bersifat istimewa.”
[5])Penulis sarikan dari W.
Lawrence Neuman, Metode
Penelitian Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitaf , Penerjemah Edina. T.
Sofia, Jakarta : PT. Indeks, 2013,
halaman 141 – 160.
[6])Peter
Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum
(edisi revisi), Jakarta : Kencana Prenada Media Group, halaman 51 dan 83.
[7]) Reza A.A Wattimena, Demokrasi Menurut
Aristoteles (Bagian 1), dalam http://rumahfilsafat.com/2012/08/15/demokrasi-menurut-aristoteles-bagian-1/
, akses
Jumat 14 Maret 2014.
[9])
Suhartono, 2001, Politik Lokal (Parlemen Desa :
Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah), Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 21 – 24.
[10]) Dalam
Mahmuzar, 2014, Sistem Pemerintahan
Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amademen, Bandung: Nusa
Media, 23 dst.
[12]) Hal ini
dapat diketahui dalam UU Desa pada subbagian mengingat hanya disebutkan pasal –
pasal dari UUD NKRI Tahun 1945
[14])Lihat UU
No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan khususnya
Pasal 7.
[15])Ateng
Syafrudin dan Suprin Na’a, 2010, Republik
Desa : Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa,
Bandung : Alumni, halaman 108.
[17])Pasal 26
khususnya ayat (3), Pasal 48 UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Bandingkan
dengan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Link nya Bisa kalian Download dibawah ini:
Microsoft Word http://adf.ly/vi1RZ
Power Point http://adf.ly/vi4NT
Microsoft Word http://adf.ly/vi1RZ
Power Point http://adf.ly/vi4NT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar